Menempa Diri di Sekolah Terpencil Maluku Barat Daya - PPG SM-3T UNP
News Update:
Home » » Menempa Diri di Sekolah Terpencil Maluku Barat Daya

Menempa Diri di Sekolah Terpencil Maluku Barat Daya

Written By irfandani06 on Tuesday, May 7, 2013 | 8:30 AM

DARI MIMPI: Nanda Okkyanti bersama siswa SD Kristen Mahaleta di Pulau Sermata.
FOTO RUKIN FIRDA/JPNN


Nyaris Dibatalkan Gara-Gara SMS Tak Dijawab
Menjadi guru di daerah terpencil harus siap menghadapi tantangan pelik. Terutama terkait dengan minimnya fasilitas infrastruktur transportasi dan sarana telekomunikasi. 
Laporan Rukin Firda, MALUKU
Direktur P3G (Program Pendidikan Profesi Guru) Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela selalu terharu setiap kali menceritakan perjuangan peserta program SM-3T (sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal).
Betapa ’’sengsara’’-nya jalan yang harus ditempuh peserta untuk menjadi guru sekarang ini. Setahun mereka mengabdikan diri di sekolah-sekolah terpencil dan terisolasi dari dunia luar.
      ’’Tapi, ini penting untuk membekali calon guru dengan pengalaman nyata di lapangan,’’ papar guru besar Unesa yang akrab dipanggil Prof. Luthfi itu.
     Di daerah-daerah pedalaman itu, para peserta berlatih memecahkan berbagai persoalan pendidikan di lapangan. Mereka juga harus kreatif menyiasati keterbatasan.
     ’’Yang survive adalah mereka yang benar-benar memiliki panggilan jiwa untuk membangun pendidikan,’’ ujarnya.
     Sebagai penghargaan atas kesediaan mereka mengabdi di daerah-daerah serba-kekurangan itu, para peserta SM-3T diganjar beasiswa untuk mengikuti PPG (pendidikan profesi guru). Mereka mendapatkan kesempatan pertama untuk mengikuti program yang peminatnya antre itu.’’PGG (dan SM-3T) adalah filter untuk menghasilkan guru yang profesional,’’ tegas guru besar berjilbab itu.
     Tahun ini, SM-3T memasuki tahun kedua. Dalam pelaksanaannya, Kemendiknas menugasi 17 LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan). Salah satunya Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Unesa mendapat jatah 178 sarjana pendidikan untuk disebar ke empat kabupaten terpencil yang ditentukan.
     Di bagian barat ditunjuk Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan 40 sarjana. Di wilayah paling utara yang berbatasan dengan Filipina, di Kabupaten Talaud, terdapat 29 sarjana. Lalu, Kabupaten Sumba Timur yang berbatasan dengan Australia mendapatkan jatah 78 sarjana. Terakhir, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku, memperoleh jatah 31 sarjana.
     Kehadiran guru-guru muda dalam program SM-3T sangat membantu kurangnya guru di sekolah tujuan. Belum lagi kemampuannya yang jauh dari standar yang diharapkan. ’’Jangan berpikir apakah guru-guru itu sudah tersertifikasi atau belum. Yang lulusan SMA cukup banyak," ujarnya.
     Merasa diuntungkan dengan program SM-3T, daerah-daerah tujuan selalu minta program itu bisa berlanjut. "Bahkan, ada yang minta guru SM-3T yang tugas diperpanjang pengabdiannya. Kalau perlu tidak usah ganti guru baru agar tidak perlu beradaptasi," ujar Prof. Luthfi.
     Memang, daerah-daerah yang ditempati program SM-3T benar-benar memiliki kekurangan dalam infrastruktur. Tidak saja terkait dengan transportasi dan akses menuju lokasi, namun juga sarana komunikasi yang minim.
     Lantaran minimnya sarana komunikasi itu, Kabupaten MBD nyaris dibatalkan sebagai daerah tujuan program. Tim SM-3T Unesa sempat mengalami kesulitan untuk berkoordinasi dengan pemerintah MBD karena keterbatasan komunikasi itu.
     "Malah, pada H-1, kami terpaksa mencoret MBD dan mengalihkan peserta ke Sumba Timur," cerita Luthfi.
     Tapi, di detik-detik terakhir sebelum peserta berangkat, Kepala Disdikbudpora (Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga) MBD Andi mengontak pihak Unesa. Dia memohon maaf karena terjadi miskomunikasi.
     "Sinyal telepon seluler lemah di hampir seluruh wilayah MBD. Pesan yang kami kirim baru sampai ketika yang bersangkutan berada di daerah yang ada sinyalnya," kata Luthfi.
     Luthfi sempat bergeming untuk mencoret MBD dan memindahkan peserta SM-3T ke Sumba Timur. Namun, Andi kembali memohon maaf berulang-ulang. "Kami mohon tetap dikirim guru ke tempat kami. Kami mohon maaf seng (tidak) bisa segera merespons karena di daerah kami seng (tidak) ada sinyal," tutur Luthfi menirukan permintaan maaf Andi.
     Luthfi melihat kesungguhan pejabat itu menjadikan daerahnya sebagai lokasi pengabdian peserta program SM-3T. Kalaupun dia selama ini sulit dihubungi untuk berkoordinasi, itu terjadi semata-mata karena minimnya infrastruktur komunikasi di daerah tersebut. "Satu hari sebelum pemberangkatan peserta, kami baru bisa memastikan bahwa MBD akhirnya masuk daerah tujuan," katanya.
     Persoalan muncul lagi karena tim SM-3T Unesa tidak memiliki gambaran yang jelas tentang kondisi wilayah MBD yang dijadikan lokasi pengabdian. Wilayahnya terdiri atas pulau-pulau kecil yang tersebar di Laut Banda. Antarpulau itu hanya bisa dijangkau dengan kapal. Padahal pada bulan-bulan tertentu, kondisi laut tidak bersahabat untuk jalur pelayaran.
     "Kami berpikir, riskan juga melepas para peserta SM-3T ke wilayah yang belum kami kenal sama sekali," kata Luthfi.
     Karena itu, diputuskan untuk melakukan penyesuaian dan sedikit perubahan dari rencana awal. Jika semula 31 peserta SM-3T bakal ditempatkan di enam pulau (Babar, Sermata, Luang, Moa Lakor, Marsella, dan Wetar), akhirnya hanya tiga pulau yang dipilih, yaitu Babar, Sermata, dan Luang.
 Luthfi minta peserta agar tidak terlalu jauh terpencar sehingga memudahkan koordinasi. "Juga memudahkan kami untuk melakukan monev," ucapnya.
     Tantangan lain, meski sebuah daerah sudah menyatakan kesediaannya untuk ditempati peserta SM-3T, dukungan mereka terkesan apa adanya. Misalnya, yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil. Pejabat Dinas Pendidikan di daerah itu ternyata tidak terlalu paham kondisi sekolah yang dipilih sebagai lokasi pengabdian peserta SM-3T. "Bahkan, lokasi sekolahnya saja mereka tidak tahu," sesal Luthfi.
     Ketika monev awal tahun lalu, tim sulit menemukan sekolah yang ketempatan SM-3T. Padahal, ketika itu mereka didampingi beberapa pejabat Dinas Pendidikan setempat.
     Menerjunkan sarjana-sarjana pendidikan yang baru lulus dan belum banyak pengalaman ke medan yang guru-guru lain saja enggan mendatanginya adalah sebuah "perjudian". Mereka yang tahan dan memang memiliki jiwa pendidik serta pengabdi akan tergembleng. Sebaliknya, bagi yang motivasinya menjadi guru setengah-setengah, dia hampir pasti bakal rontok.
     Karena itu, sejak awal program SM-3T diperkenalkan, Unesa lebih banyak menggambarkan sulitnya medan dan tantangan yang akan dihadapi peserta. Bukan iming-iming beasiswa masuk PPG.
     "Kami mencari calon-calon guru yang punya motivasi kuat untuk mengabdikan ilmunya di daerah terpencil. Bukan karena iming-iming beasiswa masuk PPG," ungkap Luthfi. (p6/c2/ary)

sumber
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !


New Creation Live Radio
by. Infokom PPG SM-3T UNP



Radio Streaming PPG SM-3T UNP




 
Redaksi : Tentang Kami | Iklan | Ketentuan | Address: Kampus II UNP, Lubuk Buaya, Padang | 25173 | Sumatera Barat | Phone: 085263220740 | Email: mail@sm3t-unp.org