Kendala yang dihadapi para guru SM-3T belum selesai sampai di
SMAN 3 Kecamatan Simeulue Tengah saja. Beberapa hambatan lainnya juga
dialami para guru yang mengabdi di Kecamatan Alafan.
Kesuma Ramadhan, Kepulauan Simeulue
Sebagai wilayah terluar bagian barat kawasan Pulau Simeuleu,
ketiadaan akses penerangan, transportasi, hingga air bersih menjadi
momok bagi para pengabdi SM-3T lainnya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya.
Erni Susanti, selaku guru SM-3T yang mengisi mata pelajaran Bahasa
Inggris di SMPN 2 Alafan Desa Serafon, dan beberapa teman lainnya
menceritakan kisah pengabdian mereka yang telah berjalan empat bulan
lamanya.
Selain harus beradaptasi dengan kondisi cuaca alam yang tak menentu,
para guru SM-3T ini juga harus mampu bertahan dengan keterbatasan bahan
makanan di balik mahalnya biaya hidup di daerah tersebut.
Untuk bisa bertahan di daerah pengabdian mereka, Erni bersama ketiga
temannya yang lain, harus menyewa sebuah rumah dengan kondisi seadanya.
Ini termasuk wajar, karena mereka hanya membayar Rp900 ribu per
tahunnya.
“Untuk makan, kita sulit mencari bahan pokoknya. Biasanya kita selalu
memanfaatkan mie instan dan telur. Kalau tiap hari beli nasi, harganya
cukup mahal. Kalau mau mencari bahan sayuran, kita harus turun ke kota.
Itupun bisa dilakukan seminggu sekali jika ada angkutan yang masuk
kemari,” ujar Erni.
Namun, masalah yang sebenarnya menghantui Erni dan kawan-kawan yakni
ketiadaan air bersih dan bahan makanan yang memadai. Untuk konsumsi air
minum, mereka memanfaatkan jasa pengantar air isi ulang yang datang
setiap seminggu sekali, dengan harga per galon Rp10 ribu.
Sementara untuk mandi, Erni dan temannya mengaku harus rela
menggunakan air keruh dan berwarna coklat, yang sering mereka analogikan
sebagai air kopi susu. Alhasil dengan rutinitas menggunakan air yang
kurang bersih dan keruh itu, menyebabkan timbulnya penyakit yang
menghiasi hari-hari mereka.
Ini dirasakan langsung oleh Erni. Dia merasakan gatal-gatal pada
seluruh tangan dan sebahagian wajahnya sejak bulan pertama kehadirannya
di Desa Serafon. Setelah empat bulan bertugas, penyakit itu bukannya
hilang tapi malah menimbulkan bekas luka.
Walaupun upaya pengobatan telah dilakukan di puskesmas pembantu
(Pustu) daerah itu, namun kulit telah dipenuhi luka, tak mudah untuk
menyembuhkannnya.
“Udah diobati kok, walaupun belum sembuh sepenuhnya. Mudah-mudahan
saja alerginya tidak menjalar ke seluruh badan,”ujar Erni sembari
tersenyum simpul menutup kesedihannya.
Meskipun begitu, Erni tetap merasa yakin akan mampu bertahan untuk bisa mengabdi di daerah tertinggal dan terluar selama satu tahun, sesuai kontrak yang telah disepakati para guru SM-3T ini.
Meskipun begitu, Erni tetap merasa yakin akan mampu bertahan untuk bisa mengabdi di daerah tertinggal dan terluar selama satu tahun, sesuai kontrak yang telah disepakati para guru SM-3T ini.
Nasib serupa juga dialami Grace Hesty Napitupulu. Sebagai guru SM-3T
bidang biologi, Grace juga menghadapi beberapa kesulitan dalam
beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Dari penuturan Grace, kendala penerangan di daerah yang mereka
tempati turut menghambat produktivitas mereka dalam melakukan
pengabdian. Grace dan kawan-kawannya mengaku hanya bisa menikmati
penerangan sejak pukul 18.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB saja. Selebihnya
mereka harus menyiasati dengan memasang lampu teplok untuk membantu
penerangan di tempat tinggal mereka.
Itu disebabkan Desa Serafon tak memiliki pembangkit tenaga listrik
dan hanya memanfaatkan penerangan dengan tenaga surya. Kondisi ini
tentu saja berbanding jauh dengan kehidupan yang dilalui Grace di tempat
kelahirannya, Tebingtinggi. Selain listrik, hambatan akses komunikasi
dan keterbatasan sinyal juga menjadi kendala.
“Kalau mau mengabarkan sesuatu kepada keluarga dan kawan-kawan lewat
handphone, biasanya kami mencari sinyal ke daerah bebatuan yang
berdekatan dengan pantai di belakang rumah. Inipun belum tentu bisa
dilakukan setiap setiap hari,” ujar wanita yang baru saja menamatkan
pendidikan guru di Unimed itu.
Di balik kondisi tersebut, keprihatinan juga hadir dari minimnya
kemauan penduduk yang berusia sekolah untuk mendapatkan kesempatan
pendidikan. Bahkan, keadaan tersebut ini diakui Sadaruddin, seorang
warga yang juga petugas kantor Kecamatan Alafan. “Budaya masyarakat di
sini memang kurang kemauan untuk belajar. Salah satunya karena masalah
ekonomi. Para orangtua lebih memilih anaknya membantu mereka kerja di
ladang atau ikut mencari ikan yang dianggap lebih menghasilkan ketimbang
harus bersekolah,” ucapnya.
Dari data yang disebutkan Sadaruddin, dengan jumlah penduduk berkisar
10 ribu jiwa, rata-rata warga Alafan memiliki penghasilan yang beragam
baik sebagai nelayan, bertani, berdagang, maupun beternak.
Lemahnya kesadaran masyarakat tentang pendidikan ini jugalah, menurut
Sadaruddin menjadi salah satu alasan kecamatan Alafan sulit berkembang.
Ditambah lagi, keadaan miris di mana sebagai sebuah kabupaten, Simeulue
tidak memiliki lembaga pendidikan tinggi.
“Seandainya pun anak-anak kita sudah menamatkan SMA, setelah itu
mereka tak punya pilihan untuk kuliah di daerahnya. Karena kalau mau
kuliah mereka harus ke Aceh atau Kota Medan. Dan, ini pastinya
membutuhkan biaya yang sangat besar. Secara otomatis keinginan untuk
melanjutkan kuliah pun tak bisa dilakukan karena alasan ekonomi. Wajar
saja akhirnya mereka memilih bekerja membantu orangtuanya,”sebutnya.
Secara geografis, letak Alafan, bilang Sadaruddin kurang
menguntungkan untuk bisa cepat berkembang. Sebagaimana pengalaman
perjalanan Sumut Pos, untuk bisa tiba di Kecamatan Alafan, harus
ditempuh dengan perjalanan panjang yang penuh tanjakan dan tikungan
tajam.
Jika dirunut dari titik keberangkatan awal dari Desa Sinabang Kecamatan Simeuleu Timur, untuk mencapai lokasi Alafan, setidaknya harus melewati tiga kecamatan terlebih dahulu. Yakni Kecamatan Teupah Barat, Simeuleu Tengah, Salang dan terakhir Alafan.
Jika dirunut dari titik keberangkatan awal dari Desa Sinabang Kecamatan Simeuleu Timur, untuk mencapai lokasi Alafan, setidaknya harus melewati tiga kecamatan terlebih dahulu. Yakni Kecamatan Teupah Barat, Simeuleu Tengah, Salang dan terakhir Alafan.
Sebagai sebuah Kecamatan, Alafan memiliki delapan desa yakni Lafakha,
Teluk Dalam, Lubuk Baek, Langi, Serafon, Lohok Pau, Lamerem, dan Lewak.
Alafan dianggap sebagai Kecamatan terpencil dan terluar karena
kondisinya yang begitu jauh dari pusat kota.
Sumber:
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !