Ilustrasi |
Menjadi Guru adalah bukan hal yang
mudah, selain dapat di gugu dan ditiru, di pundaknya juga terpikul amanah
perjuangan dan pendidikan generasi. Sulit membayangkan apa jadinya bangsa ini
tanpa guru. Diakui atau tidak, roh pergerakan kemerdekaan dipicu karena energi
yang dipompakan guru. Kesadaran akan pentingnya kemerdekaan timbul dari nurani
yang tertekan dan tertindas. Guru adalah pejuang yang membebaskan bangsa ini
dari ketertindasan. Karena lewat dedikasinya kesadaran untuk bangkit itu
muncul. Guru menggelorakan kesadaran itu dengan perjuangan keras mendidik anak
bangsa yang tak kenal lelah. Kesadaran jamak akhirnya muncul jiwa patriot dan
nasionalisme yang kuat sehingga mengantarkan rakyat untuk bangkit menuntut
kemerdekaan. Guru adalah pejuang yang menginspirasi dan memberikan darah atas
kebangkitan itu.
Sungguh, ini bukan perjuangan yang
mudah untuk mempertahankan semangat itu. Apalagi di era globalisasi saat ini tak hanya menciptakan iklim kompetisi yang
sehat. Namun, bisa menjadi monster
menakutkan kalau semua stockholder bangsa
ini tidak siap untuk menfilter arus globalisasi. Seiring bergulirnya waktu saat
yang sama penanaman nilai-nilai patriot dan nasionalisme sudah mulai berkurang.
Ini kita bisa melihat perkembangan
generasi saat ini yang cendrung lebih suka produk asing dari pada produk lokal
(negeri sendiri).
Kalau kita flashback kembali 14 tahun yang silam, terlepasnya
Timor Timur dari wilayah NKRI kemudian membentuk Negara baru
(Timor Leste), pulau Ligitan dan pulau Sipadan di tangan Malaysia merupakan
salah satu produk kegagalan dunia pendidikan, dalam hal menanamkan nilai-nilai
nasionalisme kepada generasi bangsa sejak dini.
Untuk mengembalikan semua itu, butuh
semangat kebangkitan harus kembali digelorakan. Pengabdian dan dedikasi luar
biasa harus terus disemaikan. Peran guru tak hanya sebagai agent of change, lebih dari itu adalah mainstream perjuangan bangsa.
Keterpurukan ekonomi, rendahnya mutu pendidikan, tergerusnya moral anak bangsa
akibat pergaulan bebas, jaminan kesehatan yang payah, keadilan yang tak
berdaya, premanisme yang pongah, dan sejumlah persoalan lain adalah pekerjaan
berat yang menanti. Tidak hanya bagi guru, juga bagi semua elemen bangsa.
Namun, guru jelas menjadi turbin bagi perjuangan ini. Generasi bangsa harus
diselamatkan, dan itu bisa melalui pendidikan yang baik dan berkarakter.
Sehingga tepatnya akhir tahun 2011
lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) melalui Ditjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) meluncurkan program Sarjana Mendidik di Daerah
Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), dengan tujuan untuk membantu
daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama kekurangan tenaga
pendidik. Program
SM3T merupakan sebuah program untuk menyeleksi sarjana-sarjana pendidik muda Indonesia
yang kemudian ditempatkan di daerah 3T yaitu daerah-daerah yang secara
geografis berada di wilayah perbatasan dengan negara tetangga dan secara sosial
ekonomi masih tertinggal seperti; (Aceh, NTT, Sulawesi Utara, Papua, Papua
Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur).
Sebagai Pendidik daerah 3T, bukanlah hal yang mudah. Jangankan sinyal telepon seluler, listrik pun tak ada.
Jangankan kendaraan, jalan raya pun entah di mana. Begitulah situasi yang
dirasakan para guru program SM3T ini. Dapat di bayangkan kondisi pendidikan
didalamnya seperti apa..! Kenyataan tersebut telah menciptakan sebuah gap (barier)
antara hak peserta didik di perkotaan dengan peserta didik di daerah 3T sangat jauh. Sehingga wajar
kemudian kenapa IPM di daerah 3T selalu terdepan dari belakang.
Jika menelaah lebih jauh, program
SM3T memiliki peran yang sangat urgen
untuk membangun peradaban yang berbasis karakter bangsa. Sehingga penting
kemudian, sebagai peserta program SM3T memanfaatkan momentum ini sebagai :
Pertama, melatih
kepekahan sosial. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen yang
menyebutkan bahwa, seorang Guru minimal memiliki empat kompetensi yaitu
profesional, pedagogis, sosial dan kepribadian. Selama ini, kompetensi sosial
dan kepribadian belum mendapatkan perhatian khusus dalam pendidikan calon Guru.
Sehingga dengan melihat kondisi daerah 3T ini nantinya pendidik muda ini dapat
mengasah kepekaan sosial, dan membentuk kepribadiannya dengan hidup bersama
masyarakat setempat.
Kedua, membangun
nasionalisme. Ya, nasionalisme anak bangsa di daerah pelosok negeri saat ini
sedang mengalami degradasi. Mereka seolah hidup sendiri tanpa perhatian dari
pemerintah, baik dalam hal ekonomi, sosial maupun pendidikan. Tidak bisa
pungkiri, pembangunan saat ini masih berorientasi di daerah-daerah yang secara
ekonomi mapan dan maju. Maka, tidak salah kemudian jika identitas-identitas
perekat bangsa tidak lagi melekat pada kehidupan mereka.
Ketiga, alat kontrol
perkembangan pendidikan di daerah 3T. Para pendidik yang bertugas di daerah 3T
harapannya sebagai jembatan pemerintah untuk menyampaikan persoalan-persoalan real yang ada di daerah. Sehingga
kebutuhan-kebutuhan vital terkait
pengembangan pendidikan bisa terakomodasi dengan baik.
Namun begitu, program SM-3T bukan
tanpa cela. Hanya beberapa perguruan tinggi (PT) ternama yang ikut serta dalam
penyelenggara program pengabdian ini. Padahal di negeri ini banyak sekali PT
dengan beragam nomenklatur yang potensial. Sayang jika mereka tidak dilibatkan
dalam agenda mulia tersebut. Pembangunan hendaknya dilakukan secara sinergis. Sarjana-sarjana pendidikan dari PT manapun hendaknya
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajarkan nasionalisme kepada
anak-anak bangsa.
Maju Bersama,
https://www.facebook.com/mansur.amriatul?ref=tn_tnmn
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !