Masih hangat di
perbincangan di berbagai media bahwa pemerintah dalam hal ini kementrian
pendidikan dan kebudayaan akan memperbaharui kurikulum di tahun ajaran
baru 2013 nanti. Hal ini terungkap dari pernyataan resmi menteri
pendidikan nasional pada hari acara puncak peringatan guru nasional ke
67, yang mengingatkan bahwa pemberlakuan kurikulum baru tidak bisa
ditunda lagi.
Bukan perkara yang enteng, jika pemerintah
pusat ngotot akan menerapkan kurikulum baru yang terkesan tergesa-gesa,
sebab yang sangat tidak siap adalah guru, lebih-lebih lagi orang tua.
Terutama adalah para guru dan orang tua di Maluku. Pasalnya para guru
yang menjadi ujung tombak pendidikan terdepan, harus dipaksa mampu
menancapkan pengetahuan, (kognitif), kreativitas (psikomotor) dan sikap
(afeksi) sekaligus keteladanan bagi para siswanya, sesuai keinginan
kurikulum baru, dalam rentang waktu yang singkat, yakni hingga semester
baru nanti di pertengahan 2013. sementara para guru di Maluku sendiri
sebagian besar memiliki berbagai problematika tersendiri yang sampai
saat ini belum banyak teratasi, terutama bagaimana cara mengaplikasikan
atau penerapan kurikulum 2013 yang baru ini dalam pembelajaran?
Hambatan Guru di Maluku
Ganti menteri ganti kurikulum, inilah kenyataanya.
Belum lagi para guru dibuat pusing dengan seabrek perangkat kurikulum
KTSP yang begitu padat, kini harus mempelajari hal baru yang masih
meraba-raba bagaimana penerapan kurikulum baru di 2013 nantinya. Sebab
yang akan menjadi sorotan utama dalam perubahan kurikulum 2013 ini
adalah para guru karena kurikulum dengan konsep yang sangat bagus
apapun tidak akan berjalan baik tanpa peran guru yang mau dan komitmen
menjalankannya, lebih konsen lagi pada para guru yang sudah
disertifikasi, di sisi lain yang menjadi permasalahan tersendiri ketika
berbagai penelitian menyebutkan bahwa kualitas para guru yang sudah
disertifikasi tidak berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran mereka
di sekolah, termasuk para guru di Maluku. Ujian kompetensi Guru (UKG)
di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tahun 2012, ini
membuktikan bahwa kualitas Guru di Maluku kalah jauh dibandingkan
kualitas guru di Propinsi lain di Indonesia, bahkan dari Papua. Meskipun
UKG tidak mewakili totalitas kualitas kompetensi guru di Maluku, karena
yang dinilai hanya kompetensi pedagogik semata, namun menjadi tamparan
keras bagi pimpinan di daerah, dalam hal ini pemerintah daerah Maluku
dan seluruh stake holder yang ada bahwa ada yang harus
diperbuat oleh pemerintah daerah untuk menindak lanjuti bagaimana
mengatasi permasalahan tersebut.
Masih segar di ingatan kita dalam salah satu
seminar guru di Islamic Center Ambon beberapa waktu lalu walikota Ambon
sempat mengancam akan mencabut tunjangan sertifikasi guru jika para guru
tidak menjalankan tugasnya dengan baik, atau pada perayaan puncak Hari
Guru Nasional ke-67 di kota Ambon, walikota sempat marah, karena para
guru tidak serius mengikuti upacara atau pada kasus lainnya ketika
pejabat penting di daerah terkesan tidak peduli dengan sengaja absen
pada perayaan hari guru ke 67 di kota Masohi.
Pernyataan dan kejadian tersebut bukan sebuah
cerminan perilaku dari pejabat birokrasi yang baik, Pertanyaannya
kemudian apakah ini contoh yang ingin ditunjukan kepada para guru bahwa
pemerintah daerah peduli dan sudah berbuat banyak terhadap nasib guru,
lantas dengan lantangnya mereka berkata sudah bekerja maksimal untuk
meningkatkan kualitas para guru?
Di mana kepedulian mereka ketika para guru yang
seharusnya diberi nasehat dan contoh keteladanan serta karakter yang
baik, malah yang keluar adalah nada acam-mengancam? Mestinya
dicontohkan, bahwa ‘Begini caranya menjadi guru yang profesional dan
berkarakter, senyum, salam, sapa, dan ramah. Melakukan ini dan itu, dan
mari kita lakukan langsung’. Bukan sekedar dibicarakan, dijelaskan
dan diterangkan. Ini yang ditunggu para guru!. Tahukah anda bahwa para
guru yang selalu datang ke pelatihan dan seminar pendidikan selalu
menanti mempraktikkan metode terbaik, cara terbaik bagi guru untuk
tampil terbaik dan berkualitas di kelasnya?.
Kenyataannya para guru di kota Ambon, maupun di
tiap daerah bahkan pelosok Maluku sudah terlilit dengan masalahnya
sendiri, dari kendala minimnya akses informasi pendidikan, sarana
prasarana pendidikan yang terbatas, kurangnya pelatihan dan sosialisasi
perkembangan pendidikan, di samping itu pemerintah daerah selama ini
belum terlalu jauh mengidentifikasi apa sebenarnya kendala terhadap
peningkatan kualitas guru di Maluku selama ini. Ambil contoh pernahkah
dipikirkan bagaimana melatih kompetensi guru yang berkaitan dengan
penggunaan teknologi informasi yang sehat? Karena salah satu kendala
ketika mengikuti UKG adalah minimnya pengetahuan tentang penggunaan
perangkat TeknoIogi Informasi, semisal komputer dan Internet.
Atau bagaimana pemerintah daerah memikirkan untuk
melatih guru secara terprogram, menggandeng LPMP dan Perguruan tinggi
atau pihak ketiga (NGO) untuk tidak sekedar melatih, memberi arahan
kepada guru, menjelaskan kebijakan pemda, tetapi pelatihan yang
benar-benar langsung dirasakan guru. Dalam hal ini guru melakukannya
langsung, dan tidak sekedar duduk berlama-lama mendengar ceramah tanpa
pengalaman pelatihan.
Terang saja bahwa masalah yang terakhir adalah
sorotan utama bagi penulis untuk menyuarakan aspirasi para guru di
daerah dan pelosok, hal ini terungkap ketika penulis terlibat langsung
dalam berbagai pelatihan dan penelitian bersama para guru di Maluku yang
dimotori oleh NGO (Lembaga Non Pemerintah) yakni Save the children foundation
yang telah mengakhiri masa tugasnya di Maluku pertengahan tahun 2012.
Tulisan ini selebihnya diharapkan menjadi salah satu referensi terkait
permasalahan guru di Maluku dan menggugah pengambil kebijakan di daerah
guna memajukan pendidikan di Maluku.
Nampaknya bahwa selama ini tanggungjawab pemerintah
daerah terkesan hanya sebatas bagaimana merekrut guru hingga mengurus
kesejahteraan guru atau serifikasi. Padahal ada yang jauh lebih penting
dari itu semua, yakni bagaimana menjaga, dan menjamin kualitas guru di
daerah hingga pelosok. Sedangkan tugas pemerintah pusat
bertanggung jawab pada sertifikasi guru, memastikan ketersediaan guru,
dan merancang kebutuhan guru. Seiring semangat desentralisasi
pendidikan, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah termasuk di
dalamnya menjamin kualitas guru di daerah, dalam hal ini wajib melakukan
pelatihan, sosialisasi baik secara secara formal dan informal.
Meskipun di tingkat propinsi ada lembaga khsusus
yang menjamin kualitas itu, yakni LPMP (Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan), tetapi di daerah bahkan pelosok, siapa yang mengawal dan
mengawasi? Hanya berharap pada UPTD dinas Pendidikan di kecamatan,
tetapi apakah mereka yang ditempatkan di sana adalah mereka yang profesi
dan kompetensinya pas dengan yang dibutuhkan para guru, khsusnya
jaminan kualitas pendidikan. Sebab yang menjadi penting dari
implementasi kurikulum apapun bentuk perubahannya terletak pada kualitas
pada proses pembelajaran dan pengawasan yang konsisten.
Sebab dari hasil temuan penulis di bebarap pelosok
yang sempat penulis datangi, sampai hari ini masih banyak dari para guru
yang tidak bisa berbuat maksimal dalam proses pembelajarannya. Sebut
saja kurikulum terakhir KBK dan dikembangkan ke dalam KTSP sejak 2006
dan diterapkan di berbagai sekolah hingga saat ini, jangankan bagaimana
menyusun rencana pembelajaran yang berkualitas, dari sisi penyampaian
para guru di depan kelas pun tidak banyak yang berubah dari sebelum
ditetapkannya KBK atau KTSP. Yang disajikan guru tetap monoton yakni
ceramah atau menjelaskan berdasarkan buku paket atau jika menggunakan
LCD proyektor, para siswa hanya menjadi penonton pasif, padahal apa
bedanya dengan menonton TV di rumah?.
Lantas jangan ditanyakan kualitasnya, sebab secara
formal lulusan sekolah di pelosok di atas kertas pasti bagus dan
baik-baik saja bahkan terkesan sejajar kualitasnya dengan
sekolah-sekolah favorit di perkotaan. Padahal dengan sarana dan
prasarana yang terbatas dan pembelajaran yang monoton di kelas hal
tersebut mustahil melahirkan pendidikan yang berkualitas, terkecuali
disulap?
Hal ini tidak sepenuhnya adalah kesalahan para guru
sendiri, meski para guru yang sempat penulis temui sebagian mereka
adalah para guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi, namun dari
hasil observasi penulis ada banyak masalah yang sangat teknis yang
selama ini menjadi buntu dan sulit dipecahkan pada diri para guru, di
antaranya yakni sulit menterjemahkan keinginan kurikulum KBK dan KTSP.
Di samping itu kurangnya pelatihan secara praktis bagaimana
mengimplemetasi kurikulum tersebut ke dalam proses pembelajaran. memang
benar sebagian masalah ini sempat teratasi ketika mereka bergabung dalam
KKG (kelompok kerja Guru) atau MGMP (musyawarah guru mata pelajaran).
Bahkan hanya untuk sekedar action di depan kelas, membimbing
siswa secara natural sudah tidak menjadi masalah bagi para guru, tetapi
bagaimana melatih guru untuk menterjemahkan kurikulum bukan perkara yang
mudah, harus mengembangkan silabus secara mandiri dan menyusun RPP,
butuh pelatihan dan penalaran khusus, inilah yang jarang dimiliki oleh
para guru kita, termasuk bagaimana melatih guru untuk menyajikan
pembelaran mandiri. Padahal inilah yang menjadi keinginan utama KTSP
(kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang harus benar-benar di rancang
sendiri oleh guru sesuai dengan kebutuhannya.
Prakiraan penulis jika keadaan seperti ini terus,
maka Kurikulum 2013 yang akan diterapkan medio tahun ini akan bernasib
sama dengan kurikulum sebelumnya, yakni tidak akan banyak membawa
perubahan terhadap tujuan pendidikan nasional khususnya pendidikan
berkualitas dan berkarakter, jika tidak ada kesiapan dan pelatihan
praktis bagi para guru sebagai motor utama jalannya proses pendidikan di
satuan pendidikan.
Meskipun menurut Kemdikbud bahwa penerapan
kurikulum baru 2013 hanya berlaku pada kelas 1, kelas 7 dan kelas 10,
pengambil kebijakan di daerah sudah harus mulai melakukan persiapan
bagaimana menjelaskan implementasi kurikulum baru tersebut, kemudian
menggandeng LPMP dan Perguruan tinggi untuk melatih para guru pelatih
yang disiapkan untuk melatih para guru di sekolah-sekolah. Pelatihan itu
penting, dan tidak sekedar sosialisasi, tidak maksimalnya implementasi
kurikulum KBK dan KTSP yang sedang berjalan ini dikarenakan minimnya
pelatihan. Setidaknya data survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada Agustus-November 2012 patut menjadi acuan bahwa terungkap dari sekitar
62 persen dari 1.700 guru sekolah dasar yang disurvei di 20
kabupaten/kota tidak pernah mendapatkan pelatihan. Adapun guru di kota
besar rata-rata hanya mengikuti pelatihan satu kali dalam lima tahun.
Bahkan, ditemukan guru pegawai negeri sipil yang mendapatkan pelatihan
terakhir tahun 1980 (Kompas,6/12/12). Apalagi
penerapanya di Maluku secara geografis dan demografis dimana rentang
kendali serta jarak satu daerah dengan daerah lain dipastikan terkendala
jarak dan waktu, ini juga menjadi kendala yang sangat penting untuk
disikapi.
Terungkap dari hasil temuan penulis, terkait dengan
sosialisasi dan pelatihan yang selama ini berlangsung di satuan-satuan
pendidikan hingga di pelosok termasuk di Maluku, rupanya yang sering
diundang untuk sosialisasi dan pelatihan itu adalah kepala sekolah, atau
jika guru, maka orang yang itu-itu saja, tapi setelah dilatih dan
kembali ke sekolah tidak pernah mentransformasikan keilmuan dan
kreativitasnya kepada teman guru yang lainnya, akhirnya informasi
terbarukan atau perangkat pembelajaran semisal RPP pun hanya dihadirkan
secara formal yang penting ada ketika sang pengawas sekolah ada.
Bahkan ditemui ada beberapa guru yang terpaksa
berbuat nekat, tinggal mengkopy saja dari internet atau dari sekolah
lain perangkat pelajarannya, tinggal dijilid rapi dan jadilah perangkat
administrasi yang rapi meski tidak tepat sasaran, karena yang dibahas di
dalamnya tidak menjadi kebutuhan utama di sekolah tersebut. Temuan lain
yang lebih ironisnya adalah ada beberapa oknum guru yang tidak perlu
repot-repot membuat RPP, sebab ada jasa tertentu yang keluar masuk
sekolah untuk menawarkan paket perangkat pembelajaran lengkap dengan
harga berkisar 1 hingga 5 juta per paket perangkat pembelajaran atau
silabus RPP, sungguh sangat miris melihat kejadian ini.
Satu hal lagi, bahwa terkadang jika pelatihan dan
seminar kurikulum, materi yang disampaikan dalam sosialisasi atau
pelatihan kebanyakan adalah penjabaran undang-undang, kebijakan,
teoritik dan aspek-aspek yang terlalu formal dan tidak menjadi kebutuhan
utama para guru di sekolah. yang terjadi kemudian para guru dengan
mencari gampangan saja, yakni menggunakan cara menerangkan saja dengan
mengandalkan buku teks, karena kelemah guru ini, maka penerbitpun
mengedarkan LKS yang seakan wajib digunakan siswa. Karena selama ini
guru tidak pernah dilatih bagaimana mengembangkan kurikulum secara
matang, atau mengembangkan silabus dan RPP secara mandiri. Yang terjadi
adalah para guru selalu siap pakai menggunakan kurikulum yang sudah
jadi, yang dipakai di sekolah-sekolah ternama, kemudian tinggal diganti
tahun dan nama sekolah dan sedikit dimodifikasi, jadilah perangkat
pembelajaran atas nama guru tersebut. namun hakikat pengembangan
kurikulum secara mandiri, sejatinya tidak pernah dimengerti dan dicapai.
Parahnya silabus dan RPP hanya menjadi setumpuk
dokumen yang formalitas saja, padahal guru membutuhkan sosialisasi dan
pelatihan maupun strategi yang praktis bagaimana menjalankan proses
pembelajaran di kelas. Pertanyaannya, siapakah yang menjelaskan
perangkat pembelajaran ini secara praktis? Karena yang terjadi kemudian
adalah tarik ulur antara para guru dan pengawas di tingkat sekolah, yang
kemudian jarang juga yang bisa menerjemahkan bagaimana seharusnya
kurikulum ini dijelaskan secara praktis, pada akhirnya implementasi
kurikulum oleh guru ‘yang penting sudah memenuhi tuntutan administrasi
dan sudah mengajar, berarti kelar’.
Sehingga bukan hal yang baru dalam penerapannya
jika kurikulum kemudian menjadi perdebatan tanpa solusi di tingkat
sekolah antara guru mata pelajaran sampai pada hal-hal yang sangat
teknis, misalnya penggunaan buku paket dan buku pegangan guru yang
menggunakan penerbit tertentu, atau pemanfaatan LKS yang tidak bisa
ditinggal. Atau masalah aneh-aneh lainnya misalnya, silabus dan RPP
harus ditulis tangan atau menggunakan dokumen cetak komputer atau
bagaimana bentuk silabus dan RPP, apakah vertikal atau horisontal, dan
lain sebagainya, akhirnya para guru pun pusing dibuatnya. Padahal para
guru membutuhkan hal-hal yang praktis, bagaimana melaksanakan strategi
pembelajaran yang baik, menghadirkan media, metode, penalaran yang
sederhana untuk menghadapi siswa, dan tidak kaku dalam penerapannya.
Tantangan bagi Guru dan pemda Maluku
Menghadapai masalah seperti ini pemerintah daerah
Maluku harus pro-aktif bersama-sama dengan Perguruan Tinggi serta LPMP
atau NGO wajib memberikan stimuli, mendorong bahkan ikut serta memberi
pencerahan dan solusi praktis melalui berbagai pencerahan, perlatihan,
seminar, workshop guna mengatasi berbagai problematika guru di Maluku.
Langkah selanjutnya seluruh stake holder pendidikan di Maluku
bersama-sama dengan pemerintah daerah melakukan evaluasi, melihat
kembali apakah program kerja yang selama ini dilakukan guna meningkatkan
kualitas guru sudah berjalan maksimal atau belum, kemudian hasilnya
secara trasnparan dipublikasi sehingga berbagai kendala tersebut bisa
diatasi melalaui masukan-masukan dari elemen masyarakat.
Sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam waktu singkat harus menyiapkan grand disain, maupun blue print,
atau paling tidak grand disain yang selama ini ada, dipublikasikan agar
masyarakat luas bisa mengikuti perkembangannya dan juga bisa
mengontrol, kinerja pemerintah daerah Maluku khsusunya yang berkaitan
dengan peningkatan kualitas pendidikan, terlebih lagi pada kualitas
guru.
Di samping itu Perguruan tinggi dalam hal ini FKIP
sebagai dapurnya para guru harus mampu menangkap peluang ini dengan
melakukan penyegaran melalui workshop dan pelatihan praktis guru
sehingga mereka mampu menghadapi berbagai kendala selama proses belajar
mengajarnya. Jangan hanya menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai
ajang sosialisasi, menjelaskan, menerangkan kebijakan, sebab guru di
kelas tidak berhadapan dengan hal-hal umum seperti ini. Pendidikan dan
pelatihan guru sudah harus lebih dititikberatkan pada hal-hal yang
bersifat integratif, eksplorasi, eksperiman, melakukan dengan langsung,
hingga kepada praktik bagaimana mengembangkan kurikulum dengan model,
metode dan media pembelajaran aktif, aktif tutornya aktif pesertanya, di
samping itu harus memantapkan pemahaman guru tentang bagaimana cara
melatih guru untuk mengajarkan pendidikan berkarakter.
Hemat penulis, untuk sampai ke tingkat pelatihan
secara singkat dalam memperbaiki kualitas guru di Maluku, termasuk
bagaimana nanti menyiasati diterapkannya kurikulum baru 2013, memang
bukan usaha yang mudah, tetapi bukan juga usaha yang terlalu sulit untuk
dilakukan dengan cepat oleh pemerintah daerah, sudah tentu dibutuhkan
kerja ektra keras, kemauan dan komitmen dari guru, karena hanya gurulah
yang bisa merubah semua ini, termasuk bagaimana menentukan kualitas
pembelajarannya, tentunya harus difasilitasi oleh pemerintah daerah,
yang bekerjasama dengan LPMP dan Perguruan Tinggi maupun NGO, ataupun
elemen masyarakat yang konsen terhadap pendidikan.
Setidaknya benteng pertahanan terakhir dari bangsa
dan negara ini yang masih kokoh dan harus dipertahankan adalah profesi
guru. Ketika banyak oknum politisi yang bermasalah dengan karakter dan
korupsi, masih bisa dibina oleh guru politisi dan guru birokrasi, jika
banyak oknum penegakan hukum melakukan penyimpangan, masih bisa
mengandalkan nasehat guru besar hukum, tetapi jika guru di sekolah kita
biarkan dan tidak mampu menjalankan profesi gurunya secara maksimal,
maka politisi dan para penegak hukum yang berkualitas dan berkarakter
tidak akan lahir di masa yang akan datang. semoga.
Sumber: edukasi.kompasiana
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !