Oleh: Jems Napoleon Singkana, S. Pd *)
Persoalan dunia pendidikan bukanlah menjadi sesuatu yang politisi.
Telah menjadi konsumsi semua pihak dan imbasnya, semua pihak pun dengan
prinsip demokrasi dan upaya yang sama hadir dan berupaya memberikan
kontribusi dalam upaya menjawab tantangan dalam dunia pendidikan.
Dunia Pendidikan di Kabupaten Alor dalam perjalanannya dihadang
oleh banyaknya persoalan-persoalan yang menyebabkan rendahnya mutu dan
kualitas. Jika kita berpatokan pada hasil Ujian Nasional yang dipakai
Pemerintah sebagai Indikator pengukur mutu dan kualitas pendidikan, maka
kita akan kandas pada rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di
Kabupaten Alor. Hasil terkini ditahun 2012, menempatkan NTT pada ranking
terendah baik itu jenjang pendidikan SMA maupun SMP secara Nasional.
Meskipun secara substansi, Ujian Nasional selalu mendapatkan kritikan
dari berbagai kalangan. Kita sedang berhadapan dengan sebuah regulasi
yang secara nasional berlaku. Dan jika upaya menggambarkan kondisi real
pendidikan dengan melihat bahwa belum adanya sebuah konsep yang baku dan
sistematis dalam mengukur mutu dan kualitas pendidikan disuatu daerah,
maka terjebaklah kita pada sebuah konsep dan regulasi yang memaksa kita
masuk kedalam sebuah system yang salah dan keliru.
Persoalan Pendidikan
Rendahnya mutu pendidikan di Alor diakibatkan oleh banyaknya
persoalan-persoalan seperti pertama persoalan pendidik yang mencakup
kekurangan jumlah, distribusi guru yang tidak seimbang, kualifikasi
dibawah standar, kurang kompeten dan ketidaksesuaian antara kualifikasi
pendidikan dan bidang yang diampu. Kedua, angka putus sekolah yang
relatif tinggi. Ketiga, angka partisipasi sekolah yang rendah. Keempat,
kurang memadainya fasilitas penunjang pembelajaran seperti laboratorium,
perpusakaan, dan lain sebagainya, dan kelima, peran masyarakat, dan
lain sebagainya.
Solusi Pemecahan
Pengkajian penulis lebih kepada persoalan pendidik dalam hal ini guru
yang selalu menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan oleh berbagai
kalangan. Jika kita mengkaji upaya pemerintah melalui kebijakan
pendidikan mengatasi persoalan pendidik, maka orientasinya lebih kepada
proyek. Kebijakan mengenai Program Sertifikasi, Pendidikan Profesi Guru
(PPG), SM-3T, dan lain sebagainya, hanyalah proyek semata yang akan
membuang-buang investasi dan anggaran. Solusi ini pun tidaklah tepat
sasaran baik itu berkaitan dengan substansi persoalan dan maupun
efektifitas pelaksanaan. Kebijakan-kebijakan ini hanya akan membuat guru
terjebak dalam formalitas, ketimbang mengajar didepan kelas.
Persoalan lain mengenai pendidik adalah kekurangan guru dan
distribusi guru yang tidak seimbang. Yang menarik adalah upaya
pemerintah mengatasi persoalan ini adalah dengan mendatangkan sarjana
pendidikan melalui program SM-3T. Yang perlu dijadikan dasar analisis
persoalan adalah bahwa ada perbedaan antara kekurangan guru karena
memang ALor tidak punya sumber daya dan kekurangan guru tetapi Alor
memiliki sumber daya guru yang memadai dan mencukupi. Yang terjadi di
Alor adalah kekurangan guru, tetapi sumber daya guru memadai, karena
setiap tahunnya sekitar 13 LPTK di NTT menghasilkan lulusan yang siap
ditempatkan didunia pekerjaan. Untuk mengatasi kekurangan guru, maka
upaya yang tepat adalah dengan mengangkat tenaga-tenaga guru non PNS
atau dengan memberdayakan tamatan-tamatan LPTK di Alor yang masih
menganggur. Pemerintah punya peran dalam melakukan lobi-lobi ke pusat,
sehingga melalui persoalan kekurangan guru ini, pemerintah pusat dapat
melakukan kebijakan pemberhentian moratorium PNS khusus untuk tenaga
pendidik pada daerah berbekurangan sehingga bisa mengatasi persoalan
kekurangan guru. Persoalan lainnya adalah Dinas Teknis tidak mempunyai
data base yang jelas mengenai ketersediaan guru, ditambah analisis
kebutuhan yang menghasilkan asumsi kekurangan atau kelebihan guru
menggunakan rumusan perhitungan yang salah. Kesalahan yang penulis
maksudkan adalah rumusan perhitungan baku mengenai kebutuhan guru yaitu
rasio mengajar guru dan siswa. Mengacu pada PP Nomor 74 tahun 2008 pasal
17 tentang guru yang berisi mengenai rasio minimal jumlah peserta didik
terhadap gurunya dan Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar
Proses yang mengatur jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan
belajar, mengatur bahwa untuk jenjang SD minimal 20-28 siswa, SMP &
SMA minimal 20-32, dan SMK minimal 15-32 siswa. Setiap Dinas Teknis
mempunyai kebijakan tersendiri mengenai rasio mengajar guru dan siswa
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Mengenai rumusan perhitungan
guru, kita tidak bisa sama ratakan antara semua jenjang. Hal ini
dikarenakan standar kurikulum dan jenis guru setiap jenjang pendidikan
yang berbeda. Untuk SD, rasionya didapatkan dari perbandingan antara
jumlah guru dan jumlah siswa disuatu sekolah, minus guru agama dan
penjaskes. Untuk jenjang SMP & SMA, rasionya didapatkan dari
perbandingan antara kebutuhan guru dan jumlah jam tersedia. SMK pun
punya perhitungan yang berbeda. Yang salah dilakukan oleh Dinas Teknis
adalah dengan melakukan perhitungan yang sama untuk semua jenjang
pendidikan yaitu perbandingan antara jumlah guru dan jumlah siswa.
Kesalahan perhitungan inilah yang menghasilkan asumsi yang salah pula.
Persoalan berikut adalah mengenai distribusi guru yang tidak
seimbang. Untuk mengatasi persoalan ini yang mutlak dan harus dilakukan
oleh pemerintah adalah dengan membuat pemerataan dalam hal
pendistribusian guru dari daerah berkelebihan guru ke daerah
berkekurangan guru. Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Teknis
haruslah memiliki sebuah pemetaan yang jelas mengenai persoalan
kebutuhan guru. Dimulai dari analisis kebutuhan sesuai dengan kondisi
objektif dilapangan. Surat Keputusan Bersama (SKB).
Menjadi sangat menarik melihat kondisi pendidikan di NTT terlebih
khususnya di Kabupaten Alor 5-10 tahun kedepan jika arah dan kebijakan
pendidikan menuju kearah politisasi dan komersialisasi seperti saat ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa paham kapitalisme telah merasuk dengan
sangat kuatnya dalam sistem pendidikan di NTT secara khusus di Kabupaten
Alor menyebabkan kerusakan mental para pengambil kebijakan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan secara khusus di Kabupaten Alor.
Perubahan pengelolaan dan pengkajian terhadap upaya peningkatan
mutu pendidikan di Kabupaten Alor perlu diarahkan kembali kepada hakikat
pendidikan sebagai humanisasi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat
mendesak demi perubahan kearah yang lebih baik. Dengan
demikian“kesadaran akan sebuah perubahan merupakan kunci kesehjateraan
secara bersama”.
*) Alumnus PJKR FKIP Universitas PGRI NTT, Mantan Ketua Umum Forum
Mahasiswa Peduli Kampus Kupang-NTT
Sumber:
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !