Kupang
--- Siswa-siswi SMA Negeri 1 Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa
Tenggara Timur (NTT) harus melalui jalan berliku, naik turun bukit, dan
melewati beberapa sungai untuk sampai ke sekolah mereka. Sekolah yang
berada sekitar 120 kilometer dari kota Kupang ini terpencil dan minim
sarana komunikasi. Sinyal telepon seluler tidak akan ditemui di daerah
ini.
Lulusan Jurusan Pendidikan Kimia Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), Nayudin Hanif, ditugaskan untuk mengajar di
sekolah tersebut. “Setelah lulus dari UPI pada 21 Desember 2011, saya
memutuskan meninggalkan tanah kelahiranku di Serang, Banten, dan
ditugaskan di sini,” katanya pria lolos seleksi program SM-3T (Sarjana
Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
Nayudin menceritakan, sebagian besar siswa harus
melewati satu atau dua sungai untuk bisa sampai ke sekolah dengan
perjalanan paling jauh lima kilometer. Kondisi ini lebih parah pada
musim hujan seperti semester ini. Kondisi jalan berlumpur dan air sungai
meluap hingga terpaksa semua siswa harus melepas sepatunya. Kondisi
inilah yang menyebabkan sebagian besar siswa banyak yang tidak masuk
atau terlambat sekolah.
Pada saat lonceng di sekolah berbunyi, kegiatan
yang dilakukan sebelum atau setelah proses belajar mengajar adalah apel.
Siswa berbaris rapi kemudian berdoa dipimpin oleh petugas yang
ditunjuk. Setelah itu, mendengarkan pengarahan dari guru piket sebelum
masuk kelas untuk kegiatan belajar mengajar ataupun pulang ke rumah.
“Jumlah siswa yang apel pada saat pertama kali saya datang di sekolah
ini hanya belasan siswa,” tuturnya.
Hal ini karena tata tertib dan kedisiplinan yang
diterapkan tidak berjalan dengan semestinya, baik guru maupun siswa.
Butuh waktu dua bulan agar tata tertib dan kedisiplinan ini berjalan.
Seperti layaknya sekolah yang lain, SMA Negeri 1
Amarasi Timur pun kini mulai menggalakkan kembali kegiatan upacara
bendera pada setiap Senin. “Inilah tantangan pertama yang harus saya
hadapi bersama satu teman guru SM-3T dari Undiksha Bali,” kata Nayudin.
Banyak kejadian menarik saat pertama kali
melaksanakan upacara bendera, seperti di tengah lapangan banyak kotoran
sapi, bendera yang bolong-bolong digigit tikus karena jarang dipakai.
Hal ini karena jarang melakukan kegiatan upacara bendera. Tapi kini
semuanya mulai dibenahi.
Tidak mudah melakukan perubahan sesuai dengan
program yang akan diterapkan di sekolah ini. Setelah diberikan pemahaman
kemudian menyosialisasikan program atau kegiatan yang akan dilakukan,
secara bertahap akhirnya beberapa kegiatan terlaksana. Di antaranya
kegiatan ekstrakurikuler, pendampingan belajar siswa di luar jam
pelajaran, layanan bimbingan bagi siswa yang membutuhkan, peningkatan
kesadaran kebersihan dan pengelolaan lingkungan dan lain-lain.
Minat dan motivasi belajar siswa sangat kurang,
diperparah lagi kemampuan dasar yang seharusnya mereka dapatkan di SD
dan SMP merupakan hambatan terbesar untuk memahami pelajaran di SMA.
Hasil tes kemampuan awal matematika kelas XI IPA saat pertama kali masuk
di awal semester sungguh memprihatinkan.
Hampir semua jawaban hasil tes matematika setiap
siswa salah. Kondisi inilah yang harus diatasi semua guru peserta SM-3T .
“Oleh sebab itu, saya perlu banyak belajar bagaimana cara mengajar yang
efektif sehingga tercipta generasi yang unggul,” tuturnya.
Walaupun demikian, semua kondisi yang telah
dialami Nayudin merupakan pengalaman yang menarik. Nilai positif yang
dapat diambil dari kehidupan masyarakat di sini adalah selalu menjaga
kebersihan, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta menjunjung tinggi
adat dan budaya. (Laporan: Nayudin Hanif)
Sumber:
http://www.kemdiknas.go.id
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !