Menjadi Guru Syuhada - PPG SM-3T UNP
News Update:
Home » » Menjadi Guru Syuhada

Menjadi Guru Syuhada

Written By irfandani06 on Thursday, December 20, 2012 | 11:29 AM

Ilustrasi
ilustrasi

“Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dari sedikit yang sadar itu hanya sedikit yang ber-Islam. Dari sedikit yang ber-Islam itu hanya sedikit yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang sedikit sekali yang bersabar. Dan dari mereka yang bersabar hanya sedikit sekali dari mereka yang sampai akhir perjalanan”

“Waktu yang ada  jauh lebih sedikit dari tugas yang harus kita selesaikan dengan sempurna”
-Hasan Al Banna –
Kutipan dari seorang guru dan juga seorang reformis sosial dan politik Islam Mesir pada tahun 1930an tersebut sekedar mengingatkan kita, bahwa tidak banyak orang yang mau berjuang untuk berdakwah/mengajar hingga mencapai pengorbanan yang seutuhnya, sepenuh hati dan berkonsep syuhada (ikhlas berjuang sampai akhir hayatnya).
Fenomena ini terjadi juga di Indonesia, terutama mengenai sistem pendidikan dan kinerja guru, bahwa guru kita tidak loyal, masih sekedar mengejar materi dan kurang memberi dampak bagi pendidikan, banyak yang kurang kompeten, ditambah lagi dengan munculnya kabar bahwa sistem pendidikan kita masih pada posisi terendah dunia berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson yang memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat tersebut disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan. (Kompas.com, Selasa, 27 November 2012).
Masyarakat kita seakan mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan kita. Padahal rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia, yaitu sekitar 1:18. Akan tetapi, angka rasio itu tidak diimbangi dengan sistem pendistribusian yang cukup baik. Kurangnya tenaga guru di berbagai daerah dipicu oleh sistem yang kurang baik dalam pendistribusian guru (Kompas.com, Kamis, 24 November 2011).
Ditengah terjadinya krisis kepercayaan tersebut, muncullah program-program yang seakan menjawab permasalahan tersebut. Seorang Anis Baswedan menggulirkan program Indonesia mengajar, program pengiriman pengajar muda berprestasi ke seluruh pelosok negeri yang dimulai pada awal 2010 itu kini telah bermitra dengan 17 pemerintah kabupaten yang tersebar di 16 provinsi di Indonesia. Selanjutnya ada juga program SM3T(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan tertinggal) dari Kemendikbud, yaitu program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia, selama satu tahun, dan akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru. Pengiriman peserta SM3T telah dilakukan dua angkatan. Angkatan pertama sebanyak 2479 orang. Sedangkan angkatan kedua sebanyak 2726 peserta telah diberangkatkan untuk masa pengabdian November 2012 – Oktober 2013. (www.kopertis12.or.id)
Pada dua contoh program-program peduli pendidikan tersebut, dapat kita temukan insan-insan muda yang mempunyai jiwa pendidik yang luar biasa. Apa yang mereka lakukan bukan sekedar dongeng atau cerita epic tentang kepahlawanan seorang guru yang sering kita dengar. Peserta sarjana pendidikan ini tidak menolak tugas apa saja, mereka tidak sekedar mengajar di kelas, namun juga memotret pendidikan di daerahnya, menginspirasi anak-anak pedalaman agar mau kembali bersekolah, berkoordinasi dengan dinas dan pemerintah setempat terkait soal fasilitas. Itulah sekilas kegiatan nyata yang mereka lakukan, dengan kesadaran, kemauan, tekad serta semangat muda yang masih berkobar, mereka rela “berdarah-darah” untuk kemajuan pendidikan negeri ini.
Bukan materi, penghargaan dan pujian yang mereka cari, bukan juga nama besar yang ingin mereka ukir, mereka hanya tahu dan sadar, bahwa negeri ini masih harus diperjuangkan. Peristiwa terbaliknya kapal boat yang mengakibatkan meninggalnya dua orang guru peserta program SM3T, Winda Yulia dan Geugeut Zaludio disaat menjalankan tugasnya di SMP Negeri 2 Simpang Jernih di Melidi, Aceh Timur,  membuka mata hampir semua orang, bahwa mereka ada, mereka berjuang sampai titik darah penghabisan. Kedua alumnus berprestasi dari UPI Bandung ini adalah syuhada-syuhada muda yang rela meninggalkan “dunia indahnya” untuk mendidik.
Mereka berdua, bersama dengan ribuan pendidik muda lainnya, telah memberikan kemampuan serta performa terbaiknya bagi anak-anak di daerah-daerah yang “terlupakan”. Mereka adalah sarjana-sarjana terbaik dari berbagai penjuru tanah air. Mereka terpanggil untuk menjadi pendidik yang ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui langkah nyata di bidang pendidikan. Selanjutnya mungkin kita akan bertanya, ada berapa guru kita yang juga mempunyai jiwa Syuhada seperti itu di negeri ini?
Jumlah anak-anak muda hebat itu tidak banyak, bahkan nama merekapun tidak termasuk dalam daftar hitungan jumlah guru yang tersebar di seluruh tanah air ini, karena Program Pendidikan Profesi Guru pun belum juga mereka jalani untuk kemudian bisa menjadi syarat dan bisa disebut sebagai guru profesional. Namun tidak seorangpun meragukan keprofesionalan mereka sebagai pendidik. Kenyataan ini seharusnya menjadi sebuah tamparan hebat bagi para penyandang guru profesional, untuk bisa tersadar, karena hal ini bukan hanya retorika jika semua guru mau bercermin, mawas diri, dan instropeksi. Bahwa jiwa syuhada perlu dihadirkan di dalam diri setiap guru.
Bahwa mendidik itu bukan sekedar di bibir, tapi juga di hati. Anak-anak kita adalah manusia, dimana masih kepada gurulah pendidikan ini bertumpu. Meskipun sistem pembelajaran telah berkembang sedemikian pesatnya dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, peran guru tidak dapat dihilangkan begitu saja. Ia masih tetap menjadi tokoh sentral dan motivator dikelasnya dan juga menjadi harapan munculnya pencerahan dari setiap murid-muridnya. Bangsa ini masih berharap banyak kepada sosok guru, merindukan guru yang hebat, yang siap berjuang untuk memberi arti kepada setiap generasi.
Apa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda itu seharusnya menjadi cambuk dan pencerminan untuk semua guru dinegeri ini, bahwa jika 2,7 juta guru sanggup dan mau untuk bersyuhada dalam profesinya, generasi emas yang kita impikan bersama akan tercetak pada dekade dimana merekalah yang akan memimpin negeri ini. Ramalan Mc-Kinsey tentang kejayaan Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.
Semua itu bukanlah hal yang mudah. Banyak resistansi yang akan terjadi ketika perubahan harus dilakukan. Dimana perjuangan dan kesadaran untuk menghilangkan hambatan itulah yang kini harus mulai dilakukan. Apalagi guru sekarang (baca: guru bersertifikasi) adalah sebuah profesi yang tidak dipandang sebelah mata, perhatian pemerintah akan nasib guru dan juga fokus pembangunan pada pendidikan telah menciptakan zona nyaman pada sisi kesejahteraan guru. Sudah sepatutnya guru mengeluarkan segenap potensinya untuk membangun negeri ini, membangkitkan negeri ini dari keterpurukan yang panjang. Guru adalah ujung tombak keberhasilan tersambungnya tongkat estafet kepemimpinan negeri yang lebih bermartabat.
Penulis adalah Pengurus Harian IGI (Ikatan Guru Indonesia) cabang DIY, sedang menempuh pendidikan pada Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM.

Sumber:
THE GLOBE JOURNAL

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !


New Creation Live Radio
by. Infokom PPG SM-3T UNP



Radio Streaming PPG SM-3T UNP




 
Redaksi : Tentang Kami | Iklan | Ketentuan | Address: Kampus II UNP, Lubuk Buaya, Padang | 25173 | Sumatera Barat | Phone: 085263220740 | Email: mail@sm3t-unp.org