Mendidik Nasionalisme di Daerah Tertinggal - PPG SM-3T UNP
News Update:
Home » » Mendidik Nasionalisme di Daerah Tertinggal

Mendidik Nasionalisme di Daerah Tertinggal

Written By irfandani06 on Saturday, December 22, 2012 | 9:50 AM


Di tengah kemajuan pembangunan yang pesat, banyak anak bangsa yang belum bisa menikmati asupan pendidikan dengan cukup. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di daerah-daerah pelosok, yang sulit dijamah pembangunan.
Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) yang diusung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemen­dikbud) mencoba memecahkan persoalan itu (Tempo, 26 November-2 Desember).
Program yang dibuka sejak 2011 itu telah memberangkatkan ribuan sarjana untuk mengajar di daerah terpencil. Mereka tersebar dari Desa Rinon, Aceh, sampai dengan Biak Numfor, Papua. Selama setahun, sarjana-sarjana itu menginfakkan waktunya untuk mengabdi.
Dari segi teknis, program SM-3T tampak seperti program Indonesia Mengajar (IM) yang digagas Anies Baswedan. Tapi ada yang beda, misi program SM-3T adalah sebagai pembinaan calon-calon guru. Ber­awal dari asumsi bahwa peningkatan kualitas pendidikan tanpa memerhatikan pe­merataan akan mengorbankan anak-anak bangsa yang berada di daerah  pelosok. Titik temunya pada pembinaan gu­ru yang baik. Maka, program SM-3T menjadi upaya yang diyakini pemerintah dapat memperbaiki kualitas sekaligus memerataan pendidikan.
Peran guru dalam dunia pendidikan sangatlah penting. Keberadaannya menjadi indikator keberlangsungan proses pendidikan. Namun, guru yang berkompeten, profesional dan berkarakter, sulit ditemui. Terutama di daerah-daerah pelosok negeri ini. Maka, upaya pemerintah dalam me­laksanakan program SM-3T perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Keuntungan
Jika ditakar, program SM-3T memiliki beberapa keuntungan.
Pertama, untuk melatih calon-calon guru agar peka terhadap keadaan sosial. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Gu­ru dan Dosen yang menyebutkan bah­wa seorang guru minimal memiliki empat kompetensi: profesional, pedagogis, so­sial dan kepribadian.
Sejauh ini, kompetensi sosial dan kepribadian belum mendapat perhatian khusus dalam pendidikan calon guru. Maka, ketika sarjana sebagai  calon guru turun langsung ke pelosok, ia dapat mengasah kepekaan sosial dan membentuk kepribadiannya dengan hidup bersama masyarakat setempat. Tentu akan menambah wawasan kebangsaan bagi sang calon guru. Bahwa tak melulu Jawa yang me­mer­lukan pembangunan. Masih banyak ba­gian Indonesia yang miskin pemba­ngun­an. 
Kedua,  sebagai ajang membangun na­sionalisme. Ya, nasionalisme anak bang­sa di beberapa daerah pelosok negeri ini sedang terancam. Mereka seolah hidup sen­diri tanpa mendapat perhatian dari pemerintah, baik urusan ekonomi maupun pendidikan. Semuanya hanya terfokus di kota-kota besar yang menjadi pusat perekonomian. Maka, tak salah jika identitas-identitas bangsa tak lagi melekat dalam kehidupan mereka.
Dalam film Tanah Surga... Katanya dikisahkan kehidupan seorang pemuda yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kalimantan Barat. Namanya Haris. Ia sudah bosan menjadi warga negara Indonesia. Iming-iming kehidupan lebih layak di negara tetangga, membuatnya rela meninggalkan Ibu Pertiwi. Film yang diproduseri Deddy Mizwar itu juga menyajikan ironi. Anak-anak sekolah dasar (SD) dalam film tersebut tak mengenal rupiah dan lagu kebangsaan Indonesia. Untuk mengajak mereka belajar membutuhkan kesabaran yang lebih.
Hal itu juga tampak di Biak Numfor, Papua. Di daerah tersebut, kuantitas guru sangat minim. Anak-anak mengalami persoalan disiplin dan semangat belajar. Namun, kehadiran sarjana peserta SM-3T di daerah tersebut ternyata membuahkan semangat baru.
Ketiga, program SM-3T dapat dijadi­kan sebagai alat kontrol perkembangan pendidikan di daerah terpencil. Sarjana yang bertugas di suatu daerah dapat menyampaikan persoalan-persoalan yang ada kepada pemerintah untuk dicarikan solusinya, sehingga kebutuhan-kebutuhan vital terkait pengembangan pendidikan bisa terakomodasi dengan baik.
Namun begitu, program SM-3T bu­kan tanpa cela. Hanya beberapa perguruan tinggi (PT) ternama yang ikut serta dalam penyelenggaraan program pengabdian itu. Padahal  di negeri ini banyak sekali PT dengan beragam nomenklatur yang potensial. Sayang jika mereka tak dilibatkan dalam agenda mulia tersebut. Pemba­ngunan hendaknya dilakukan secara si­ner­gis. Sarjana-sarjana pendidikan dari PT mana pun hendaknya mendapat kesempatan yang sama untuk mengajarkan nasionalisme kepada anak-anak bangsa. (24)

—Abdul Arif, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, mahasiswa Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang.   

Sumber:
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !


New Creation Live Radio
by. Infokom PPG SM-3T UNP



Radio Streaming PPG SM-3T UNP




 
Redaksi : Tentang Kami | Iklan | Ketentuan | Address: Kampus II UNP, Lubuk Buaya, Padang | 25173 | Sumatera Barat | Phone: 085263220740 | Email: mail@sm3t-unp.org