Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T)
merupakan program yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan
melalui Dirjen Perguruan Tinggi atau DIKTI. Program ini dimaksudkan
sebagai program pengabdian Sarjana Pendidikan dalam percepatan
pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Masa
baktinya selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik professional yang
akan berlanjut dengan Program Pendidikan Profesi Guru.
Tak hanya perguruan tinggi dari luar Aceh saja yang mengirimkan gurunya
untuk ditempatkan di Aceh, tetapi ada ratusan guru dari Aceh yang juga
ditempatkan ke luar Aceh yaitu ke Kalimantan, Kepulauan Riau dan Nusa
Tenggara Timur. Sedikitnya ada sekitar 300 lebih guru dari Unsyiah yang
ditugaskan ke tiga provinsi itu selama satu tahun ke depan.
Ditempatkan di daerah-daerah terluar, terdepan dan tertinggal memang
memiliki tantangan tersendiri bagi para guru program sarjana mendidik
tersebut. Seperti tantangan yang dihadapi oleh guru-guru Aceh yang
ditempatkan di Provinsi Kalimantan Barat. Salah satunya adalah Akmal
Muhammad Rum, guru Bahasa Indonesia dari FKIP Unsyiah yang ditempatkan
di SMP N 4 Dusun Serangkang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanngau,
Provinsi Kalimantan Barat.
Kepada ATJEHPOSTcom melalui telepon selularnya siang ini, Kamis, 29
November 2012, mengatakan jika daerah tersebut masuk dalam kategori
“terdepan” karena berbatasan langsung dengan Serawak, wilayah negara
Malaysia. “Kalau proses adaptasi dengan masyarakatnya tidak terlalu
berat, masyarakat di sini sangat menghargai para guru, mereka
baik-baik,” ujar Akmal.
Namun, kendala yang sangat terasa adalah masalah jalur transportasi
yang sangat buruk. Secara umum jalan-jalan di sana kata Akmal kondisinya
sangat memprihatinkan. Bukan hanya jalan lintas kecamatan, bahkan jalan
lintas kabupaten pun sama.
“Yang sedikit agak bagus itu jalan antar negara, antara
Indonesia-Malaysia,” kata Akmal lagi. Selain jalur darat, jalur
transportasi lainnya yang ditempuh adalah sarana transportasi air.
Kalimantan memang terkenal sebagai pulau yang banyak memiliki
sungai-sungai.
Akmal pun terpaksa naik sampan untuk menyeberangi sungai jika hendak
berbelanja atau ada keperluan lain. Sungai yang mereka seberangi adalah
sungai Sekayan, sungai tersebut membelah Kecamatan Entikong dan
Kecamatan Sekayan. Namun jika arus sedang deras mereka tidak berani
menyeberang, untuk mengansipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Di Kalimantan Barat kata Akmal, ada 102 guru sarjana mendidik yang
ditempatkan di Kabupaten Sanggau. Guru-guru tersebut tersebar di 11
kecamatan di Sanggau, di antaranya di Tayan Timur, Tayan Hulu, Meliau,
Jangkang, Entikong dan Merau.
“Untuk sampai ke Kecamatan Tayan Hilir dan Hulu harus naik boat, begitu
juga kalau ke Meliau, harus menyeberangi sungai Kapuas dengan naik
boat. Sedangkan kalau ke Merau sudah ada jalur darat Cuma kondisinya
sangat jelek,” kata Akmal.
Di tempat Akmal mengajar, di SMPN 4 tersebut muridnya hanya 31 orang,
terdiri dari kelas satu 12 orang, kelas dua 10 orang dan sisanya kelas
tiga 9 orang. Di sekolah tersebut ada tujuh guru, 4 berstatus pegawai
negeri, 3 honor, ditambah guru sarjana mendidik 2 orang. “jadi totalnya
sembilan,” ujarnya.
Di sekolah itu Akmal mengajar Bahasa Indonesia, ia juga menjadi pembina
Osis dan memegang pelajaran pengembangan diri pada hari Sabtu. Meski
sama-sama berada di satu kabupaten katanya, akses informasi dengan
teman-teman lain tak bisa dikatakan lancar, jaringan telepon selular ke
sana sering terganggu. Saat dihubungi THE ATJEHPOSTcom komunikasi dengan
Akmal tak begitu lancar, kadang-kadang suaranya hilang dan sama sekali
tak terdengar.
Agar komunikasi selalu lancar guru-guru sarjana mendidik Aceh di
Sanggau membentuk ketua kecamatan. “Dari sini kami bisa mengetahui
kondisi teman-teman, jadi bisa saling tukar informasi,” katanya. Selain
masalah signal telepon selular, listrik di tempat ia bertugas juga masih
terbatas. Masyarakatnya masih memanfaatkan tenaga genset untuk sumber
arus listrik.
Setelah mengetahui kabar ada guru sarjana mendidik dari Bandung yang
mendapat musibah tenggelam di Aceh Timur, apakah Akmal dan
teman-temannya takut?
“Takut sih enggak, tapi ya khawatir juga, intinya sih kita di sini
saling menjaga, saya juga selalu kontak dengan teman-teman di Aceh,
dengan teman-teman di sini yaitu tadi memanfaatkan ketua kecamatan yang
kami bentuk,” kata Akmal yang mengetahui kabar tersebut melalu status BB
seorang temannya.
Akmal dan teman-teman juga mendapatkan perlindungan ansuransi dari
pihak kampus. Namun katanya, rumah sakit yang menjadi rujukan pihak
ansuransi sangat jauh. Terletak di ibu kota propinsi di Pontianak.
“Jadi kalau sakit ya nggak mungkin kita berobat ke sana, kalau dari
Entikong saja sekitar enam jam, tapi kalau teman-teman dari kecamatan
lain bisa lebih,” katanya. Terlepas dari berbagai tantangan yang
dihadapi, Akmal tetap semangat menjalankan tugasnya di sana, karena
sejak awal ia memang sudah berniat untuk mengabdi.[] (ihn)
Sumber:
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !