Pengabdian Mansurdin (55) di Buloh Seuma nyaris tanpa batas. Selain menjadi guru SD selama 35 tahun, dia pernah melakoni profesi “dokter”. Dia bahkan pernah 10 kali tenggelam di laut saat badai menerjang boat tujuan Trumon yang ia tumpangi
Tidak semua orang mau menghabiskan hidupnya di kampung orang nan terpencil, apalagi di daerah terisolir yang hanya dapat dijangkau dengan perahu atau boat. Tapi hal itu tidak berlaku bagi T.Mansurdin (55). Sejak tamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan usianya masih berbilang remaja, dia dengan senang hati menerima tugas mengajar di SD Buloh Seuma, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan. Mengabdi selama 35 tahun di daerah terpencil dan nyaris luput dari perhatian, tak membuatnya hengkang.
Pria kelahiran 1958 itu diangkat sebagai guru SD Buloh Seuma pada tahun 1978, saat usianya baru menanjak 20 tahun. Mansurdin remaja tak mengeluh ditempatkan di daerah paling terisolir itu. Sebaliknya, dia segera mengepak barang-barangnya untuk kemudian menumpang boat milik warga Buloh Seuma dan mengantarkannya kesana.
Tatkala Mansurdin baru memulai bertugas di Buloh Seuma, jangankan orang tamat SMA, anak tamatan SD saja tidak ditemukan disana. Sebab, SD baru didirikan pada tahun 1977. Oleh sebab itu, tantangan yang dihadapi Mansurdin tergolong berat, dan dia tak pernah menyerah untuk melakukan perubahan.
Sejak penugasan ke SD Buloh Seuma hingga kini menjelang pensiun, tidak pernah terlintas kata-kata pindah tugas dalam benak Mansurdin. Sebaliknya, pria yang masih terlihat tampan ini justru memilih meminang gadis Buloh Seuma guna memantapkan tugas pengabdiannnya di sana. Guna memberikan pelayanan terbaik bagi anak didiknya, ia kemudian melanjutkan pendidikan S1 pada kelas jauh Universitas Abulyatama di Tapak Tuan dan selesai pada 2001.
“Saya menikah dengan gadis Buloh Seuma. Buloh Seuma telah menjadi tanah air saya dan berkewajiban membangunnya. Kepada anak-anak, saya selalu berpesan untuk tak terlalu berharap perubahan dari orang lain. Diri sendirilah yang sangat berperan dalam mengubah masa depan. Itulah sebabnya saya menyekolahkan anak-anak ke jenjang tinggi dengan harapan suatu saat mereka akan pulang dan melakukan perubahan,” ujar Mansurdin sambil memboncengi Tabangun Aceh pada sepeda motornya, Jumat (4/10/2013).
Pengabdian Mansurdin di Buloh Seuma nyaris tanpa batas. Walau orang-orang memanggilnya dengan kata “Pak Guru”, tapi sebenarnya dia sudah melakoni berbagai “profesi”. Baru setahun bermukim di sana, ia sudah diminta bantu oleh Camat Trumon untuk menjadi Sekretaris Desa Teungoh. “Selama 11 tahun (1979-1990) saya diminta menjadi sekdes. Saya harus menerima tawaran ini agar dapat membantu menertibkan administrasi desa,” tuturnya.
Selain itu, pada tahun-tahun pertama tinggal di Buloh Seuma, dia pernah berperan sebagai “penyuluh agama” dan mengajak masyarakat untuk melakukan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Terakhir, dalam keadaan terpaksa, dia harus melakoni profesi “dokter” dan saban hari melayani orang sakit.
Jadi “Dokter”
Usai membantu menertibkan administrasi desa selama 11 tahun, Mansurdin kemudian terpanggil untuk membantu mengobati penduduk Buloh Seuma. “Disini tidak ada petugas medis yang menetap. Kalau ada warga yang sakit harus menunggu kedatangan dokter yang jadwalnya tak menentu. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, maka saya tertantang untuk belajar ilmu kedokteran dan kemudian bekerja rangkap sebagai “petugas medis” selama 5 tahun (1994-2001, red),” katanya.
Mansurdin belajar praktik medis ini dari dokter yang bertugas ke sana. Setiap kali dokter datang, dia mengajak dokter untuk inap di rumahnya dan kemudian meminta sang dokter “menurunkan” ilmu kepadanya. “Sang dokter dengan senang hati mengajari saya. Saya juga membeli alat-alat medis sederhana untuk memeriksa pasien,” kata Mansurdin sambil tersenyum.
Mengenai obat-obatan, Mansurdin menumpangi boat nelayan asal Sibolga yang sering berlabuh di pantai Buloh Seuma. Nelayan Sibolga mengantarkannya ke daratan Sibolga dan selanjutnya dia menumpangi angkutan umum menuju kota Medan untuk membeli obat-obatan dalam jumlah yang cukup untuk satu bulan “praktik”.
“Ternyata harga obat-obat itu tak terlalu mahal. Makanya saya tak sampai hati memasang tarif kepada “pasien”. Khusus kepada janda dan anak yatim saya gratiskan saja. Pekerjaan ini saya lakoni selama 5 tahun karena darurat. Saya “pensiun” sebagai petugas medis setelah berdiri Pustu pada 2001,” kenang Mansurdin.
10 Kali Tenggelam di Laut
Banyak kenangan yang membekas dalam sejarah hidup Guru Mansurdin. Pada 2003-2005 dia pernah mengungsikan sekolah dan seluruh muridnya ke SD 2 Trumon karena dampak konflik. Selain itu, sebelum jalan ke Buloh Seuma tembus pada Maret 2013, dia sudah terbiasa menumpang boat nelayan jika ingin pergi ke kota.
“Boat ke Trumon tidak tersedia setiap waktu. Saat musim barat kami terkurung, tidak bisa keluar. Kami harus bertahan hidup dengan cara saling berbagi stok makanan yang tersedia di rumah-rumah. Pada saat-saat genting seperti itu, kami terbiasa makan nasi bubur guna penghematan,” kisahnya dibenarkan Sekdes Teungoh, Zainal.
“Warga Buloh Seuma sudah terbiasa karam bersama boat yang mereka tumpangi saat ombak besar menghantam. Saya 10 kali pernah tenggelam di lautan, dan alhamdulillahmasih selamat sampai saat ini,” ujar Mansurdin.
Kini, terhitung Maret 2013, penderitaan tenggelam di laut karena ketiadaan jalan darat tak akan terjadi lagi. Setelah 68 tahun Indonesia merdeka, kini Buloh Seuma sudah dapat dilalui melalui jalur darat walau kondisinya masih memprihatinkan. Saat hujan turun, mobil tak dapat berlalu kesana. Sepeda motor bahkan harus didorong di beberapa titik luapan air rawa.
Selain itu, jaringan listrik dan telepon sampai saat ini belum tersedia. Kondisi serba kekurangan ini tak menyurutkan semangat Mansurdin untuk bertahan dalam memperjuangkan kualitas hidup penduduk Buloh Seuma. Dia yakin, walau mungkin luput dari perhatian manusia, tapi pengabdiannya tak luput dari “catatan harian” malaikat.
Ditanya penghargaan apa saja yang pernah dia peroleh, Mansurdin menjawab singkat: “Pada tahun 1994 pernah sekali diundang menghadiri peringatan Hardikda di Banda Aceh. Setelah itu tak ada lagi. Mungkin belum ya?,” katanya penasaran. Sebuah pernyataan berprasangka baik yang menyimpan asa.
Dari pernikahannya dengan perempuan Buloh Seuma, Mansurdin dikaruniai 6 orang anak. 1).T. Zulfadli, pegawai di Aceh Selatan, 2).T. Mirwan Saputra, sedang menyelesikan S-2 IT di Unsyiah Banda Aceh dan dosen luar biasa di Universitas Serambi Mekkah, 3).T. Suara Anwar, bekerja di Puskesmas Trumon Tengah, 4).T.Jalda Utama, kuliah di Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, 5).T.Sayuti, kuliah di Universitas Negeri Surabaya, 6).Cut Sudaryanti, santri di Labuhan Haji Aceh Selatan.
[hasan basri m nur]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !